16 Oktober 2018,Pertemuan keenam ini dibuka dengan berdoa
menurut kepercayaan masing-masing. Setelah selesai berdoa mahasiswa mengerjakan
kuis jawab singkat dan kemudian menulis di balik kertas kemudian diminta untuk
menuliskan pertanyaan kepada Bapak Profesor Marsigit, pertanyaan diawali oleh
pertanyaan Totok yang menanyak apa itu stigma, Kemudian Bapak menjabarkan bahwa
stigma adalah gejala bahasa, bahasa
itu semuanya mulai dari batu sampai langit sampai akhirat. Maka sebenar-benar
dirimu adalah bahasamu. Kamu mau menjadi baik atau buruk tergantung dari
ucapanmu. Sama halnya dengan pepatah yang mengatakan “Mulutmu adalah harimaumu”.
Bahasa itu bisa sehat dan bisa sakit. Contoh bahasa sakit seperti Hoax. Segala
sesuatu itu adalah bahasa, ibadah itu bahasa, wajahmu adalah bahasa, segalanya
adalah bahasa. Maka manusia
diharapkan berhati-hati dalam lisan dan perlakuannya.
Lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
jika bahasa tidak ada ataupun tidak
berlaku? Maka semuanya akan menjadi tidak jelas
dan kacau balau.
Maka diakhir zaman, semua itu adalah bahasa
seperti jurnal, tesis dan juga hasil penelitian. Bahkan ketika manusia tertawa sudah termasuk menjadi bagian dari bahasa. Jadi stigma
itu bahasa, dan pada umumnya stigma
itu berkonotasi negatif. Stigma itu melabelkan keadaan dengan bahasa. Satu kata
itu bisa menyebabkan kehancuran. Stigma itu determin menjatuhkan sifat, jadi
keadaan yang satu dijatuhkan dengan keadaan yang lain. Lebih jauhnya Bapak membahas stigma yang ada pada zaman
sekarang, menstigma kan seseorang padahal bukan
itu kenyataanya.
Sehingga muncul kalimat yang menyatakan bahwa hoax atau stigma sebetul-betulnya
yang menjadi sesuatu lebih kejam daripada pembunuhan. Maka harus hati-hati
dalam menjatuhkan stigma kepada orang lain. Dengan menjatuhkan stigma bisa
menjadi pembunuhan karakter kepada seseorang. Bahkan tanpa kita sadari
pemberian stigma ini bisa terjadi. menggunakan pikiranlah cara bagaimana stigma bekerja, karena
stigma itu adalah bahasa dan bahasa itu adalah pikiran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sistem kerja stigma sama dengan sistem kerja pikiran.
Pak Marsigit menekankan bahwa Dunia
ini persis seperti yang kau pikirkan, persis seperti yang kau rasakan, persis
seperti kau lihat, persis seperti yang engkau raba. Jadi kita menganggap
sesuatu itu baik atau buruk tergantung pikiran. Maka alangkah baiknya jika manusia membiasakan diri
untuk berpikiran positif. Dan berpikir positif bukanlah stigma. Lalu siapa yang
memproduksi stigma? Sebesar-besar godaan manusia adalah bagi mereka yang
berkuasa. Menggunakan kekuasaan adalah salah satu godaan,
yang salah satunya adalah memproduksi stigma.
Sehingga tidak mengejutkan jika
stigma bisa berasal dari kegiatan gibah yang biasa dilakukan sehari-hari oleh manusia. Maka manusia harus sangat
berhati-hati tentang stigma, jangan sampai tanpa disadari, manusia menjatuhkan stigma pada
manusia lainnya. Kemudian muncul
pertanyaan Bagaimana jika sesuatu yang negatif itu
hanya untuk lelucon? Apakah itu bisa disebut dengan stigma? Pak Marsigit menegaskan bahwa Negatif
itu ada batasannya
begitu pula dengan lelucon harus ada batasannya. Batasnya itu adalah ruang dan
waktu yang ada dan yang mungkin ada. Lelucon itu batasannya adalah ketidak
lucuan bagi orang lain. Mungkin saja sebuah lelucon bisa kita anggap lucu
padahal bagi orang lain tidak lucu.
Jadi sesuai
ajaran agama lebih baik mengerjakan sesuatu yang bermanfaat. Saya sangat setuju dengan apa yang Bapak sampaikan,
karena semakin berkembangnya zaman, manusia merasa bebas dalam mengeluarkan
ucapan-ucapan yang tidak pantas dan menganggapnya sebagai becanda. Tentu saja
hal ini eprlu disadari manusia, bahwa semuanya ada batasnya.
Pertanyaan selanjutnya hubungan intuisi dengan budaya
matematika seperti
apa? Kemudian Bapak menjelaskan mengenai intuisi.
Intuisi itu juga segalanya, jangankan intuisi, jangankan stigma atau bahasa
segala sesuatu yang ada itu segalanya. Kenapa semuanya? Karena intuisi itu
adalah ruang dan waktu. Kembali Bapak
menekankan bahwa ruang
itu tidak ada artinya jika tidak ada waktu begitu pula sebaliknya. Sebenarnya
manusia itu rugi karena tidak bisa mengabadikan setiap kejadian dalam hidupnya.
Hal itu menyebabkan ruang dan waktu yang hilang. Namun semua kejadian dalam
kehidupan manusia Tuhan memiliki rekamannya. Jadi setiap perilaku manusia itu
terlihat oleh Tuhan. Pak Marsigit
mengingatkan.
Lalu apakah budaya itu, Budaya
itu adalah kebiasaan yang menghasilkan peradaban. Artinya kebiasaan dari
sekelompok masyarakat yang menghasilkan peradaban. Budaya itu mencerdaskan dan
sumber atau asal dari intuisi. Dan sebenar-benar intuisi adalah pengalaman.
Jadi pengalaman itu adalah ruang dan waktu. Pertanyaan
berikutnya adalah dati Widi/Restu
yaitu apa definisi orang
hebat atau orang besar menurut Bapak? Menurut Prof. Marsigit setiap orang itu memiliki kehebatannya masing-masing. Karena
tidak ada satu orang pun yang bisa seperti orang lain.
Keunikan yang ada pada seseorang, membuat sesorang unik
dari orang lain. Sehingga nilaimu adalah keunikanmu adalah konsep orang hebat
yang perlu disadari oleh orang banyak, orang yang hebat dalam filsafat adalah
orang yang pandai. Sebenar-benar
orang yang pandai adalah yang pikiran dan hatinya sesuai dengan ruang dan
waktu. Hati dan pikiran yang sesuai ruang dan waktunya adalah doanya. Doanya adalah sesuai ruang dan
waktunya. Pertanyaan berikutnya adalah
mengenai elegi pemberontakan para berhenti. Berhenti itu tidak mau berhenti
atau pemberontakan. Karena berhenti itu hanya mitos, tidak ada istilah berhenti
itu.
Kemudian kembali membahas mengenai hoax, yang juga
menjadi perbincangan yang viral karena adanya kasus pengoprasian yang
dimanipulasi menjadi kasus penegeroyokan. Bagaimana
agar tidak terjebak dalam Hoax? Caranya adalah diniatkan dalam hati.
Setinggi-tinggi niat adalah niat karena Tuhan. Setelah niat selanjutnya
dikhtiarkan dengan perbuatan kemudian dipelajari dengan ilmunya setelah itu
punya keterampilan dan pengalaman. Orang yang mempunyai pengalaman akan
mengerti mana yang hoax dan bukan.
Sehingga Bagaimana agar tidak terjebak dalam
kesalahan fikir? Kita tidak bisa menghindari kesalahan fikir, karena semua
fikir itu salah ketika ruang dan waktunya sudah bergeser.
Sehingga sebenar-benar tidak
terjebak itu kalau masih terisolasi di dalam fikiranmu sendiri tanpa dikenai
beban ruang dan waktu. Tetapi jika engkau pikirkan, saat engkau pikirkan itu
sudah terikat ruang dan waktu. Pertanyaan
selanjutnya adalah pertanyaan yang cukup membuat penasaran yaitu Bagaimana
filsafat memandang kodrat wanita? Wanita dan laki-laki itu sifat. Yaitu sifat
yang satu dengan sifat yang lain. Maka antara wanita dan laki-laki itu memiliki
perbedaan sifat, jangankan laki-laki wanita, bahkan antara wanita dengan wanita
pun berbeda-beda.
Pertanyaan selanjutnya adalah pertanyaan yang saya
sendiri ajukan, pertanyaan ini saya tanyakan karena dalam jawab singkat
terdapat jawaban noumena. Lalu saya menuliskan Apa
itu noumena? Di atas kertas saya.
Penjelasan Bapak adalah Dunia itu ada dua,
yang setengah itu langit dan yang setengah di bawah adalah bumi.
Sedangkan yang tidak bisa dibagi itu adalah akhirat. Yang berada di bumi adalah
realita yaitu semua pikiran dan perasaanmu. Sedangkan yang setengahnya lagi
adalah fenomena yaitu kenyataan ditambah perasaanmu yang bisa engkau rasakan dan
pikirkan. Selebihnya adalah noumena seperti jiwa, arwah dll. Karena kita tidak
bisa memikirkannya hanya lewat hati dan perasaan.
Karena waktu perkuliahan yang sudah selesai maka beberapa
pertanyaan yang diberikan mahasiswa tidak dapat dijawab. Setelah itu, doa
adalah agenda yang wajib dilakukan dalam penutupan. Sehingga masing-masing
menundukkan kepala dan berdoa agar ilmu yang sudah didapatkan berguna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar